Pada hari Sabtu tanggal
20 Januari 2018, senat-senat di Amerika Serikat gagal lagi dalam mencapai konsensus
untuk mengeluarkan anggaran pendanaan.
Hal ini menyebabkan Amerika Serikat “officially
shutdown” karena tidak ada anggaran yang dapat dikeluarkan untuk menjalankan pemerintah dan
lainya. Hal ini merupakan kejadian ke-18 kalinya pemerintahan Amerika Serikat
mengalami shutdown. Hal ini tentu
saja menuai berbagai kontroversi di mana kedua partai dalam senat saling menyalahkan
satu sama lain dan bahkan anggota-anggota senat banyak yang mengungkapkan hal-hal
yang kontroversial untuk menyalahkan partai lainnya. Berita ini tentu saja menarik
perhatian internasional dan diliput oleh berbagai media internasional. Dalam
proses peliputan berita ini oleh media internasional tentu saja terjadi di mana
perbedaan perspektif dan opini muncul dalam berita-berita internasional
tersebut. Hal ini dapat ditemui pada berita CNN dan Russia Today (RT).

Menurut
pemberitaan CNN, shut down-nya
Amerika Serikat merupakan hasil dari ketidaksetujuan antara senat kedua partai.
Hal yang menyebabkan tidak mampunya mencapai sebuah consensus karena Pihak Demokrat
dan Republik tidak setuju dalam urgensi dari anggaran program Deferred Action for Childhood Arrival (DACA). Pada akhirnya, Preiden Donald Trump menyalahkan
senat pihak demokrat atas shut down yang
terjadi. Akan tetapi, pada kenyataannya dengan adanya shut down ini tidak menutup seluruh aktivitas pemerintah ataupun
instansi di bawah pereintah sepenuhnya. Hal-hal yang esensial seperti keamanan
sosial masih tetap dijalankan. CNN juga melakukan polling kepada masyarakat Amerika Serikat “Siapakah yang paling
bertanggung jawab atas shutdown-nya
Amerika Serikat?”. Hasil dari polling tersebut
adalah persentase paling banyak menjawab senat pihak demokrat karena banyak
menyatakan bahwa DACA tidak sepadan dengan shutdown-nya Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemberitaan CNN,
mereka lebih condong terhadap penyalahan masyarakat AS dan Presiden Trump
kepada senat Partai Demokrat.
Lain
halnya dalam pemberitaan RT. Dari pemberitaan RT, Government shutdowns merupakan bagian dari politik AS. Di mana orang-orang
dapat menantikan hal ini terjadi kira-kira 6 bulan sekali. Hal ini sangatlah
wajar dalam politik Amerika Serikat sehingga tidak perlu saling menyalahkan. Hal ini diutarakan Patrick Henningsen, Executive Editor of 21st Century
Wire.com. Pada saat proses saling
menyalahkan itu terjadi, sejumlah senat dari Partai Republik menuntut untuk
dirilisnya dokumen rahasia yang akan membongkar political bias terhadap Trump dengan isu “kolusi Russia”. Hal ini
mengangkat perhatian masyarakat dan mulai ada pergerakan dalam sosial media
untuk menunjukkan dokumen tersebut dan secara implisit menuduh adanya
keterlibatan Russia dalam masalah ini. Dalam pemberitaan RT, Henningsen
menyatakan bahwa hal ini tidak masuk akal dan dijadikan sebagai pengalihan isu
untuk tidak fokus dalam permasalahan yang ada sebenarnya. Dari hasil
pemberitaan-pemberitaan RT, dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang signifikan
dalam pemberitaan dengan media seperti CNN.
Adanya perbedaan-perbedaan
dalam pemberitaan media tersebut menjadi sebuah bukti bahwa dalam media pun ada
yang disebut perang media di mana adanya perbedaan perspektif dari pemberitaan dan
saling kontradiksi. Tentu saja biasanya media internasional lebih condong
kepada negara ataupun pihak yang berafiliasi dengannya. Maka daripada itu,
dituntut untuk pembaca untuk selalu membaca suatu berita dengan topik yang sama
dari berbagai sumber untuk mengerti pemberitaan tersebut secara komprehensif.
Sumber:
https://www.rt.com/usa/416494-us-government-shutdowns-history/
https://www.rt.com/usa/416556-us-trump-shutdown-memo/
https://edition.cnn.com/2018/01/17/politics/what-happens-government-shutdown-explainer-congress-budget/index.html
http://edition.cnn.com/2018/01/19/politics/cnn-poll-shutdown-trump-immigration-daca/index.html
Pada saat ini,
sorotan publik terhadap pemimpin negara-negara sangatlah intens. Jatuh
bangunnya seorang pemimpin ada pada tangan media massa yang merupakan akibat
dari perhatian publik. Hal ini dimulai karena munculnnya skandal Watergate yang
menjatuhkan Presiden Amerika Serikat ke-37, Richard Nixon, pada tahun rentang
waktu 1972 sampai 1974. Sejak saat itu, Jurnalistik di berbagai negara terus
menguak skandal-skandal pemimpin di berbagai negara.
Tahun lalu, Negeri
Ginseng baru saja menurunkan presidennya, Park Geun Hye, presiden ke-11
sekaligus presiden wanita pertama Korea Selatan. Penurunan Park Geun Hye ini
diakibatkan karena adanya skandal yang melibatkannya mulai pada tahun 2016.
Skandal korupsi yang dihadapkan Park Geun Hye ini merupakan hal yang tidak
lazim dalam pemerintahan Korea Selatan. Namun, reaksi masyarakat Korea Selatan
berbeda terhadap kasus-kasus selanjutnya. Di mana terjadi terjadi demonstrasi
terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan untuk menuntut pengunduran diri Park
Geun Hye dari posisinya. Hal yang dapat membuat perbedaan yang drastis dalam
reaksi masyarakat adalah hubungan antara Park Geun Hye dan teman baiknya, Choi
Soon Sil. Keterlibatan Choi Soon Sil dalam pemerintahan meskipun dia bukanlah
seseorang yang memiliki otoritas untuk itu seperti, mempengaruhi kebijakan luar
negeri dan ekonomi Korea Selatan, penyuntingan pidato presiden, dan menjadi
penasehat dari Park Geun Hye. Choi Soon Sil pun
memanfaatkan relasinya dengan Park Geun Hye untuk menekan para
pengusaha-pengusaha besar untuk mendonasikan jutaan dollar AS kepada Organisasi Non-Profit
yang dia control. Dia juga diduga telah menerima banyak dokumen rahasia negara
yang diterima dari Park Geun Hye. Hal ini yang telah menyebabkan kemarahan
masyarakat karena penyalahgunaan kekuasaan yang berlebihan.
Berita-berita
mengenai skandal ini sebagian besar telah dibendung oleh pemerintah Korea
Selatan dalam negeri. Sehingga, pemberitaan yang ada di media internasional
tidak begitu komphrehensif. Media luar negeri seperti BBC dan The Guardian pun turut
memberitakan skandal ini, akan tetapi sangat jarang yang memberitakan bagaimana
skandal Park Geun Hye ini bisa terungkap dan semakin memburuk keadaannya. Penyebab
utamanya adalah adanya keterlibatan media cetak terbesar di Korea Selatan yaitu
Chosun-Ilbo. Media ternama ini telah mengangkat
kembali isu-isu yang tidak terselesaikan dari sebelum Park Geun Hye menjadi
presiden kemudian mulai menginvestigasi isu-isu tersebut. Salah satunya adalah
penghindaran pajak. Apa yang dilakukan oleh Chosun-Ilbo
ini seperti menyiram bensin kepada api yang sedang berkobar di mana rakyat
Korea Selatan semakin tidak terima dengan tindakan-tindakan Park Geun Hye.
Dengan banyaknya artikel yang membawa kembali isu-isu lama dan menginvestigasi
skandalnya dengan Choi Soon Sil ini mendapatkan respon dari blue house. Blue House mengklaim bahwa
ada implikasi-implikasi Chosun-Ilbo dibayar
oleh saingan Park Geun Hye untuk menjatuhkan Park Geun Hye. Akan tetapi, Song
Hee Yung, jurnalis dan ketua editor Chosun-Ilbo,
tidak menghentikan investigasi dan mengabarkan berita-berita yang dia
dapatkan. Media-media lainnya juga menyelidiki Park Geun Hye dan mendapatkan
bahwa ada implikasi di mana Park Geun Hye terlibat skandal korupsi yang lebih
besar lagi. Akan tetapi, sebelum kebenaran terkuak Park Geun Hye sudah
diturunkan dari jabatannya.
Keterlibatan
jurnalis dalam skandal ini memang tidak sebesar skandal Wategate. Namun, jurnalis seperti Song Hee Yung memiliki peranan
penting dalam memberikan efek kepada masyarakat untuk tergerak dan pada
akhirnya melakukan demonstrasi terbesar yang mengakibatkan jatuhnya Park Geun
Hye dari posisinya. Banyak orang berpendapat bahwa Park Geun Hye memang salah
dan harus diadili namun tidak seharusnya dia diturunkan dari jabatannya. Akan
tetapi, efek dari berita-berita yang mengangkat skandal ini secara
besar-besaran membawa kita kepada apa yang terjadiyaitu, penurunan Park Geun
Hye dari jabatannya.
Sumber:
https://www.theguardian.com/news/2016/nov/02/south-korea-explainer-park-guen-hye-six-key-points-scandal-choi-soon-sil.
https://thediplomat.com/2017/01/the-history-of-a-scandal-how-south-koreas-president-was-impeached/
http://edition.cnn.com/2016/11/02/asia/south-korea-president-scandal-explained/index.html